BAB
1
PENDAHULUAN
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam
iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan
efisiensi biaya produksi (cost of production). Salah satu solusinya adalah
dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat
pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di
perusahaan yang bersangkutanOutsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai
pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan
penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses
administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah
disepakati oleh para pihak. Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum
ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa tenaga kerjapengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal
64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik
Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing
(Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.
Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim
Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu
faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke
Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri
tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan. Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka
pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan
dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing
harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan,
efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya.
Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat
berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat
penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada
pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama
masalah ketenagakerjaan.
BAB II
PERMASALAHAN
Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup
bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia
usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak
dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum
terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan
tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan
outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut :
1. Apa defnisi Outsourcing ?
2. Apa Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan?
3. Apa Perjanjian dalam Outsourcing ?
4. Bagaimana perusahaan melakukan
klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan
penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari
pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?
- Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?
- Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?
BAB
III
PEMBAHASAN
1.
Definisi
Outsourcing
Dalam pengertian umum, istilah
outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang
tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak
itu sendiri diartikan sebagai berikut
“ Contract to enter into or make a
contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw
together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English
Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya)
secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic
Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives,
dijabarkan sebagai berikut
“Strategic use of outside parties to
perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver,
Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa
aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside
provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama
Beberapa pakar serta praktisi
outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai
outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa
Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen
harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa
outsourcing). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan
satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola
sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima
pekerjaan.
Dari beberapa
definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang
outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan
pada pihak lain.
2.
Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
UU No.13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya
outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi
dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.[10] Pada
perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan
dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan
dengan tenaga kerja.
Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan
outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan
terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU
No.13 tahun 2003.
Dalam UU
No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65
(terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).
Pasal 64
adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”
Pasal 65
memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
- pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
- perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
- perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
- hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
- hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
- bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66
UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan
proses produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain :
·
adanya
hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
- perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
- perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
- perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
·
Penyedia
jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[ Dalam hal
syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan
kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh
dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja
antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
3. Penentuan Pekerjaan Utama (Core
Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam
Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing
Berdasarkan
pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk
kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi.
R.Djokopranoto
dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam
teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan
pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut
dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya)
adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core
business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan
sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul
adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para
pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi
yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”
Kesamaan
interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan
outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business.
Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang
dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha
pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha
pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi
pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan),
usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan
angkutan pekerja/buruh.”
Interpretasi
yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan
kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya)
semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.
Konsep dan
pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core
business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis. Oleh karena
itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat
pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business.
Keempat pengertian itu ialah
·
Kegiatan
yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
- Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
- Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
- Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.
Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam
penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana
outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa
untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing
(Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis,
yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka
mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan
perusahaan.
Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif
ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan,
Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya
terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada
akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara
pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih
kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.
Dalam hal outsourcing
(Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya
saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan
outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya
sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang
didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian
core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan.
Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh
peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan
outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan
pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya
kepada instansi ketenagakerjaan setempat.
Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan
outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
·
Sebagai
bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan
melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
·
Sebagai
pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian
tertentu di perusahaan;
- Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
- Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.
4.
Perjanjian
dalam Outsourcing
Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan
perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian
tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian
pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh.
Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah
perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
- Sepakat, bagi para pihak;
- Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Sebab yang halal.
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak
semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338
KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dalam
penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1.
Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia
pekerja/buruh ;Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada
perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian
penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut
a. dilakukan secara terpisah dari
kegiatan utama;
b. dilakukan
dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c.
merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d.
tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna
jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan
penyedia pekerja/buruh.
2.
perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang
perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut
a. adanya
hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja
atau buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku
dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi
persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara
tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi
tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian
tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi
pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia
pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan
kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap
merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan
dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Perjanjian kerja antara karyawan
outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu
perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna
jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa
outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka
pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan
perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam
outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian
kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing,
karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan
perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara
organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment,
karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna
outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan
perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian
kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.
5. Hubungan Hukum antara Karyawan
Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing
Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan
perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan
Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada
bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna
outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian
kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan
ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan
ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.
Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum,
karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna
outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna
oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara
keduanya.
Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing (Alih Daya)
harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah
- Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;
- Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;
- Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam
hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk
melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja
(user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan
kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah
perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah
peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).
Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara
perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu
hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut
sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan
hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan
perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan
pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara
langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian
kerja waktu tidak tertentu.
Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan
Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa
tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya) karena tidak
adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara
karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan outsourcing, sehingga
seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya) menggunakan peraturan perusahaan
outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna
outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti
ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian
kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing
harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh
karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing.
Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing
sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan
outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara
karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing.
Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati,
disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing.
Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing
yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa
outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara
karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.
Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota
Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan
outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok
kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini
dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan
PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing
6.
Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)
Dalam
pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin
timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun
adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut
pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun
yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi
pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan
penyedia jasa pekerja.
Dalam hal ini
perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar
bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa
pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak
yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan
outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim
pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa
pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan
bisa terpantau dengan baik.
BAB
IV
KESIMPULAN
Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga
kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara
pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non
core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen
perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing
bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan
dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu
perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama
outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan
perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan
pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada
perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian
kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan
secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa
outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan
berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang
terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.
Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan
dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin
segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan
yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat
mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.
BAB V
DAFTAR
PUSTAKA
Adji, Indriyanto Seno. 2006. Korupsi Kebijakan
Aparatur Negara dan Hukum Pidana. Jakarta ; CV Diadit Media.
H. Salim HS,
H. Abdullah, dan
Wiwiek Wahyuningsih, 2007. Perancangan Kontrak
dan Memorandum of Understanding (MoU). Jakarta ; Cet. 2. Sinar Grafika.
Kaligis. O.C. 2008.
Pendapat Ahli dalam Perkara
Pidana. Jakarta ; Penerbit PT. Alumni.
Kartini
Mulyadi, Gunawan Widjaja. 2008. Perikatan
yang Lahir dari
Perjanjian. Jakarta ;PT.
RajaGrafindo Persada.
Lamintang, PAF. 1984. Dasar-dasar Hukum Pidana
Indonesia, Bandung ; Sinar Baru.
Marpaung,
Leden. 2007. Tindak Pidana
Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan. Jakarta ; Penerbit Djambatan.
Mulyadi,
Lilik. 2007. Tindak Pidana
Korupsi di Indonesia:
Normatif, Teoritis, Praktik
dan Masalahnya. Bandung: Penerbit PT. Alumni.
Raharjo, Handri. 2009. Hukum Perjanjian di Indonesia.
Yogyakarta :Penerbit Pustaka Yustitia.
Tuanakotta,
Theodorus M. 2009. Menghitung Kerugian
Keuangan Negara dalam
Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Salemba Empat.